(Ingin) Memeluk Tangismu

Selasa, 27 September 2011 14.33 Diposting oleh Driyan Natha 0 komentar


Embun pagi menghantarkan aku menemuimu dalam mimpi
Membaca tawamu; mengurai air – matamu
Sesak yang akhirnya menghimpit dada menjadi penanda beludak rasa
Isyarat itu sudah hadir, memperlihatkan luka segar
Membahasakan getir jiwamu


Dukamu begitu dalam ku rasakan juga
Melingkari tanda hitam pada hari - hariku
Semangatku mendadak meluruh
Senada pijarmu yang meredup


Seandainya aku bisa keluar dari tempurung ini,
Jika etalase kaca yang membentengi ego kita bisa tertembus
Aku ingin berada disana, memeluk tangismu
Menampung jerit pilu yang kau bungkam dalam diam
Membisikan bahwa Tuhan selalu punya jawaban kesusahan hati
Kita akan cari cara, kita akan cari jalan
Aku tahu tidak setetes pun air mata kita yang mengalir sia – sia


Seandainya… seandainya…


Lelehan hangat kini semakin deras menghujani pipi
Kau terlalu jauh untuk bisa ku gapai
Aku sungguh ‘tak berdaya apa – apa
Kudekap bantal yang basah ini lebih lama lagi


Driyan Natha.

Mengenang Munir lewat 'Kiri Hijau Kanan Merah'

Rabu, 07 September 2011 22.34 Diposting oleh Driyan Natha 0 komentar


Munir Said Thalib - juga dikenal sebagai Munir merupakan salah satu tokoh HAM dan aktivis anti korupsi yang paling banyak dibicarakan di Indonesia beberapa tahun belakangan. Pendiri organisasi KONTRAS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dan pemenang Right Livelihood Award 2002 ini dibunuh saat bepergian menuju Utrecht University untuk keperluan studinya 7 September 2004 lalu ketika usianya 38 tahun.


Tujuh tahun kasusnya berlalu tanpa kejelasan.


Berdasarkan hasil otopsi yang dilakukan pihak berwenang Belanda, Munir diracun dengan arsenik. Dalam kasus itu, Pollycarpus Budihari Priyanto; pilot Garuda yang ikut serta dalam penerbangan Munir ke Belanda dihukum 20 tahun penjara karena terbukti terlibat melakukan pembunuhan berencana. Dipenjarakannya Pollycarpus tidak serta – merta membongkar jaringan pembunuh Munir. Tidak mungkin rasanya Pollycarpus bergerak sendiri dalam proses meracun Munir.


Kiri Hijau Kanan Merah merupakan film dokumenter yang menguak sisi kehidupan Munir. Dari mulai beliau kecil; tumbuh kembangnya di Batu, Malang; kemudian aktif kuliah di jurusan Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya hingga aktif di YLBHI membela berbagai kasus sosial. Film dokumenter ini dibuat untuk kita semua agar tetap ingat akan perjuangan Munir maupun aktivis – aktivis sosial lainnya.


Jika ribuan orang di Negara ini sibuk meributkan dan mempersiapkan ulang – tahun Bapak Presiden yang tanggalnya hanya berselang dua hari dengan hari kematian Munir. Maka, Kiri Hijau Kanan Merah sedikit mengingatkan kita untuk tetap #menolaklupa; membuat kita percaya bahwa semangat  nilai - nilai kemanusiaan dan jiwa sosial seperti yang ditunjukan Munir masih ada di Negara ini. Inilah saatnya kita harus bergerak; melanjutkan apa yang dinulai oleh Munir.


Gunakan link di bawah untuk download Film Dokumenter ini, 
- Kiri Hijau Kanan Merah part 5 


Sutradara : Dandhy Dwi Laksono
Produser  : Andhy Panca
Watchdoc 2010 


Hari ini, sesudah tujuh tahun tanpa ujung itu, Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir, akan bergerak ke Istana Negara pada pukul sebelas siang. Mereka menggelar mimbar bebas dengan mengusung tema: Presiden Palsu, Mencari Presiden Yang Berani Menuntaskan Kasus Munir. Amnesty Internasional juga telah melayangkan surat resmi kepada Jaksa Agung. Lembaga penegakan HAM terkemuka dunia itu minta Kejaksaan menggelar penyelidikan baru atas kasus Munir.


Semoga kasus ini bisa secepatnya menemukan titik terang dan untuk ke depannya tidak terjadi lagi kasus pencemaran nilai kemanusiaan yang mengerikan seperti ini. 


Driyan Natha.

Hanya Isyarat

Jumat, 26 Agustus 2011 12.59 Diposting oleh Driyan Natha 0 komentar


"Aku menghela napas. Kisah ini semakin berat membebani lidah. Aku sampai di bagian bahwa aku telah jatuh cinta. Namun orang itu hanya mampu kugapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang cuma sanggup kuhayati bayangannya dan tak akan pernah kumiliki keutuhannya. Seseorang yang hadir sekelebat bagai bintang jatuh yang lenyap keluar dari bingkai mata sebelum tangan ini sanggup mengejar. Seseorang yang hanya bisa kukirimi isyarat sehalus udara, langit, awan, atau hujan. Seseorang yang selamanya harus dibiarkan berupa sebentuk punggung karena kalau sampai ia berbalik niscaya hatiku hangus oleh cinta dan siksa." 


[Dee – Hanya Isyarat/Recto Verso hal. 47]


***


Sahabat, pernahkah engkau begitu merindukan seseorang sehinggga kau lihat wajahnya di banyak wajah?. Atau pernahkah engkau begitu mendamba hadirnya satu sosok sehingga namanya selalu kau sebut meski kau sedang terlelap?. Adakah saat itu sakit yang tak biasa menghimpit dadamu hingga kian sesak dan memompa tetes demi tetes air – mata?. Jika ya kau pernah mengalaminya, mari… istirahatlah sejenak, duduklah di sampingku. Kita berbagi cerita karena aku pun pernah mengalaminya.


Mungkin inilah bukti dari ketidakmampuan kita mengejawatahkan perasaan. Rasa yang harusnya mudah dicerna menjadi kebimbangan yang ‘tak berhenti menjadi tanya dalam pikiran. Engkau merindukan sosok itu dan aku pun merindukan sosok yang lain tapi bahasa rasa menalikan kita. Seakan kita adalah musafir yang berjalan dengan tujuan berbeda namun padang pasir yang kita tempuh sama. 


Kita berbagi ilusi yang serupa. Berharap adanya oase di depan sana karena rasa lelah kian mendera. Mungkin inilah bahasa kasih; memabukkan jiwa. Menjejali hati kita dengan harapan akan adanya kota impian hingga kita muak dan hampir gila. Namun kita masih bisa berbagi cerita dalam tawa. Mimpi itu membuat perjalanan kita layak untuk ditempuh.


Engkau membuatku bercerita kalau selama ini kuhayati dia hanya sebatas punggung. Aku tak tahu apa yang sesungguhnya dibahasakan oleh senyum atau tatapnya. Tetapi ada beban yang ‘tak sanggup dia sanggah. Dalam diamnya, ada keresahan yang sangat dalam. Seperti menunggu sesuatu itu tiba. 


Akankah itu sosok yang selama ini dia cari sehingga dia mampu terpaku lama dalam penantian?. Lantas kenapa dia tetap bisu?. Harusnya dia teriakkan sebuah nama hingga dua raga mendekap dan mampu membasuh dahaga. Baiknya dia menjemput hari indah itu sehingga terpuaskan semua angan dan dadanya pun lega apabila dihela. Lalu perlahan, waktu akan memudarkan kesadarannya akan sesuatu, yaitu diaroma hatiku.


Sampai kini pun, aku tetap disini; mendamba untuk bisa menatap matanya. Aku sadar tidak mungkin kami bicara dalam radius rasa yang sama. Namun menghayati punggungnya terasa sudah lebih dari cukup buatku. Jangan sampai dia berbalik! Jangan menatapku! Karena itu siksa bagiku. Dia pantas berada di tempatnya; menikmati segenap komposisi hidupnya yang selaras. Bukan di sini, di sisiku; menggumuli rumit duniaku. Aku hanya ingin menatap matanya untuk memastikan dia baik – baik saja. Untuk itu, ku tempuh perjalanan ini.


Tanpa kusadari, dia menjelma engkau. Ya… engkau; sumber segala inspirasi yang turun ke bumi. Ribuan cerita tercipta karena hadirmu yang ‘tak biasa. Perjalanan kita menyadarkanku bahwa ‘tak ada yang lebih indah dari proses mengalami. Tujuan membuatku melangkah namun semangatmu yang membuatku tetap percaya saat langkah semakin berat. Dan jika pun mimpi itu ‘tak bisa terjamah, maka tak apa. Nilai kebersamaan yang pernah kita bagi menjadi berharga untukku. 


Jika suatu nanti cuaca mampu mengurai kekeruhan ini, maka diamlah sejenak. Pejamkan matamu. Di balik cahaya, maknailah pentas segenap puisi yang bersimponi di telingamu. Serta rasakan belaian dari isyarat yang pernah kita bisikan pada angin, pada bulir hujan. Kini, ku titipkan mereka padamu. Cukup hanya padamu. Ku harap waktu mampu membuatmu mengerti bahwa aku disini cukup bahagia, hanya dengan bersamamu saja.


Dedicated to : Sony Budimantoro.


Driyan Natha.